Peran
Mahkamah Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Internasional
Pesatnya globalisasi mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk saling
melakukan hubungan, baik bilateral maupun multilateral. Dalam hubungan tersebut
terkadang timbul sengketa-sengketa yang dalam penyelesaiannya memerlukan pihak
ketiga. Maka dibentuklah Mahkamah Internasional sebagai pihak ketiga dimana
keputusannya wajib ditaati oleh pihak-pihak terkait yang bersengketa.
Kedudukan
Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional memiliki kedudukan yang sederajat dengan lembaga-lembaga
utama PBB yang lainnya, yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan perwalian,
Sekretariat Jenderal dan Dewan Ekonomi dan Sosial. Maka dari itu Mahkamah
Internasional bukan merupakan badan peradilan umum PBB yang bersifat memaksa
terhadap lembaga lainnya. Mahkamah hanya memiliki kewenangan untuk memberi
nasihat apabila diminta dan pemberian nasihat itu tidak mengikat atau memiliki
kedudukan lebih tinggi dari keputusan Majelis Umum PBB. Demikian juga halnya
dalam pemeriksaan berbagai perkara yang diajukan kepada Mahkamah InternasioNal
maka lembaga-lembaga PBB lainnya tidak boleh mencampuri urusan Mahkamah.
Sebagai salah satu lembaga utama PBB terbentuknya Mahkamah Internasional tidak
terlepas dari tujuan dibentuknya PBB. Tujuan diatas menegaskan perlunya
dibentuk suatu lembaga atau badan peradilan yang diberi wewenang menyelesaikan
sengketa secara damai.
Proses
Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional
Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif
artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada
pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain
Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk
memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah yaitu
menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory opinion)
dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara
yang diajukan oleh negara-negara (contensious case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan
kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara dalam memilih
cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti
saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan
secara damai.
Meskipun Mahkamah Internasional adalah merupakan lembaga utama PBB dan anggota
PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional, namun dalam
kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada
badan peradilan ini. Beberapa negara tidak berkemauan untuk menyelesaikan
perkaranya melalaui Mahkamah Internasional. Sebagai contoh dalam perkara
Kepulauan Malvinas tahun 1955 dimana Inggris menggugat Argentina dan Chili ke
Mahkamah Internasional namun Chili dan Argentina menolak kewenangan Mahkamah
Internasional untuk memeriksa perkara ini.
Prosedur
Penyelesaian Sengketa oleh Mahkamah Internasional
- Pengajuan perkara ke Mahkamah Internasional, dapat menggunakan 2 cara yaitu :
o Bila
pihak-pihak yang berperkara telah memiliki perjanjian khusus (special
agreement) maka perkara dapat dimasukkan dengan pemberitahuan melalui panitera
Mahkamah.
o Perkara
dapat diajukan secara sepihak (dalam hal tidak adanya perjanjian/persetujuan
tertulis).
- Surat pengajuan permohonan yang sudah ditandatangani oleh wakil negara atau perwakilan diplomatik yang berkedudukan di tempat mahkamah Internasional berada tersebut kemudian disahkan dan salinanya dikirim kepada negara tergugat dan hakim-hakim Mahkamah. Pemberitahuan juga disampaikan kepada anggota PBB melalui Sekretariat Jenderal.
- Setelah itu dalam acara pemeriksaan dilakukan melalui sidang acara tertulis dan acar lisan. Dalam acara tertulis maka dilakukan jawab menjawab secara tertulsi antara pihak tergugat dan penggugat. Setelah acara tertulis ditutup maka dimulai lagi acara lisan atau hearing.
- Setelah semuanya selesai maka dilakukan pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan suara mayoritas para hakim. Keputusan Mahkamah bersifat final dan tidak ada banding kecuali untuk hal-hal yang bersifat penafsiran dari keputusan itu sendiri.
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan pesat nampaknya
Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan perkembangan zaman.
Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan demokratisasi khususnya
tuntutan negara-negara baru sejak berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu
partisipasi masyarakat global melalui berbagai kegiatan internasional semakin
nyata dengan makin berperannya Non Government Organization (NGO),
asosiasi-asossiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut adanya
hak-hak yang sama.
Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata dimana batas-batas negara
semakin menipis dan semakin berkembanganya lembagaisasi-lembagaisasi yang
memiliki karakter internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut
adanya lembaga peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan
global yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja.